Deklarasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Jakarta, 7 Desember 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) dan Deklarasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan pada 7-8 Desember di Hotel Aryaduta Jakarta.

Pertambangan Tanpa Izin (PETI) 

Lahan akses terbuka adalah lahan yang memiliki akses secara terbuka bagi pihak lain untuk memanfaatkan secara ilegal, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akses terbuka terjadi karena pengawasan yang tidak memadai atau bahkan adanya pembiaran dari berbagai pihak.

Salah satu pemanfaatan lahan akses terbuka ini untuk kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Terdapat ribuan lokasi PETI dan melibatkan sekitar 2 juta penambang. Pada bulan September-Oktober 2015, KLHK telah melakukan verifikasi lapangan terhadap 302 lokasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 112 mengatur bahwa setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan izin lingkungan, yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dapat diancam pidana penjara atau denda. Di beberapa daerah kegiatan PETI telah menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik sosial dan bahkan korban jiwa. Untuk mendorong “pejabat yang berwenang” melakukan pengawasan, dari data verifikasi lapangan KLHK membangun basis data dan Sistem Informasi Lahan Akses Terbuka (SILAT). Dengan sistem informasi ini diharapkan pemerintah daerah atau stakeholder lainnya dapat memberikan input mengenai lokasi PETI atau kejadian pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan.

Untuk keperluan penanganan kegiatan PETI ini, dilaksanakan melalui implementasi Nawacita ke-4 “memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya” dan Nawacita ke-7 “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Dalam konteks keadilan untuk usaha dan/atau kegiatan di sektor pertambangan, khususnya bagi kegiatan pertambangan yang dilaksanakan oleh masyarakat, perlunya pembinaan dan fasilitasi dari pemerintah dan pemerintah daerah sebagai wujud kehadiran Negara. KLHK bersama-sama dengan kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, pelaku usaha dan lembaga swadaya masyarakat membangun komitmen bersama melalui  Deklarasi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan. Melalui deklarasi ini diharapkan melalui isu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang merupakan kewenangan bersama antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat memperkuat kembali kondisi paska penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana kewenangan di bidang energi dan sumber daya mineral menjadi kewenangan pemerintah dan pemerintah provinsi.

Komitmen bersama tersebut, selanjutnya diaktualisasikan melalui penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan. Upaya menjaring informasi mengenai kondisi, permasalahan, kebijakan dan kegiatan saat ini serta kebutuhan mendatang, telah dilakukan melalui rapat kerja ekoregion di Jawa, Kalimantan dan Papua, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku serta Sumatera. Dari proses penjaringan tersebut selanjutnya dapat dirumuskan ruang lingkup aksi yang meliputi:

  1. Penyusunan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk pelaksanaan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan.
  2. Tata kelola terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang sedang terjadi.
  3. Pemulihan lahan akses terbuka yang rusak dan/atau cemar berat.
  4. Kerangka hukum, pengembangan peraturan dan kebijakan.
  5. Pelembagaan dan peningkatan kemampuan SDM.

Untuk memulai aksi tersebut, saat ini KLHK melakukan proses pelembagaan sosial “pelaku penambangan” di Singkawang (tambang emas), Paser (tambang emas), Boyolali (tanah urug) dan Bogor (tambang emas) bekerjasama dengan Fakultas Fisipol UGM.

sumber: disini